Audina Luvi

Follow Us @audinaluvi

Jumat, 05 Juni 2020

Ruang Okta


         Aku adalah bayang di tengah terik. Terbakar hingga hitam melepuh selama kau masih tegap berdiri dan terus melangkah. Aku adalah kamu di ruang Okta. Aku adalah sendiri jika tak ku temukan terang. Aku adalah pertanyaan yang tak kunjung memiliki jawab. Aku adalah tajuk yang tak ada habisnya. Aku adalah sepi yang selalu memerhatikanmu. Dimanapun itu. 

       Sudah lama tak kau kunjungi ruang Okta. Sudah lama tak kau tatap aku dengan nanar dan sunyi itu. Kadang ku rindu dirimu yang tak berkesudahan di ruang Okta. Hanya untuk memastikan kau nampak cantik saat bertemu seseorang yang selalu kau tunggu. Kadang ku rindu kau yang terus memaki ku hanya karena aku yang nampak lusuh dan banyak cacat di wajah. Aku tahu kau enggan datang ke ruang ini hanya karena kau selalu ingin berpura-pura baik-baik saja. Menjauhiku di ruang Okta. Melangkah sebanyak-banyaknya dan membodohi diri dengan membawa mimpi yang tak pernah benar-benar terkubur. Bodoh sekali. Kemalangan apa yang ingin kau timang sedang aku selalu disini menunggumu untuk berbagi keluh seperti kau yang tak pernah memiliki rasa takut dulu. Kau lepas kendali oleh ambisi. Kau ingin pulang. Kau tahu jalan mana yang harus kau lalui tapi kau pura-pura melupakannnya dan kembali menjadi bodoh. Tolong!!! Berhenti sampai disini. 

        Luka hanya harus menunggu waktu untuk sembuh. Kau tak perlu terus berjalan hingga membuatnya bernanah. Aku bisa membaca mau mu. Aku bisa menjabarkan isi hatimu. Maka berhentilah. Bisakah kita obati bersama luka itu di ruang Okta. Jika kau datang akan kubacakan sembilan sajak yang kau tulis kala itu. Akan ku ingatkan betapa luar biasanya kamu sebelum luka itu. Maka berimajinasilah bahwa luka itu telah mengering dan kau kembali memaafkan apa saja yang mengusik perasaanmu. 

          Akh, kau memang keras kepala. Terus berjalan menantang maunya semesta. Kalau kau suka senja kenapa selalu menyimpannya menjadi tulisan? Bukankah kau bisa diam dan menikmati jingga. Nelayan-nelayan disana saja lebih memilih menghibur dirinya dengan senja di atas perahu tua sembari menunggu ikan terperangkap dalam jalanya. Kau bukanlah orang tersibuk di semesta ini. Kau selalu membuat onar hanya untuk menunjukkan bahwa kau bisa menjadi segalanya. Bukan begitu caranya untuk menjalani hidup. Bakar saja ratusan sajak yang sarat makna di mata orang lain sedang penulisnya fakir dalam memaknai hidupnya sendiri. Sekali lagi, ku mohon untuk berhenti!!!. 
    
       Ruang Okta ini semakin sepi. Jika kekasih mu jauh, apa ruang Okta tak ada gunanya? Jika ada yang mengusik pikiranmu, apakah ruang Okta tak layak untuk mendapat kunjungan-kunjungan itu? Kau melupakan riangmu. Berjalan disana tanpa peduli nelangsanya aku. Enggan datang tanpa sadar kau membuatku semakin ingin membuatmu datang ke ruang Okta. Mengetuk jelaga diri itu untuk membuat bicara. Akan kutunjukkan jalan keluar dari gundahmu tapi sekarang kau malah makin tersesat. Tersandung langkah kaki sendiri. Entah berapa kuantitas jarak untuk berpura-pura dan tak berkualitas. Kau tamak pada diri sendiri. Memberi tawa dan luka tanpa sekat. Menjadikan bait-bait keliru. Kau menyulam tiap kata tanpa suara. Meniti tiap detik dengan luka. Sakitnya belum enyah dalam dadamu. Bisakah kau insaf kali ini? 

         Bisakah kau datang ke ruang Okta hari ini. Tak peduli kau datang di waktu berembun atau datang di waktu terik atau bahkan di jingga senja ataupun di malam yang hanya diterangi satu lilin yang lekas meleleh. Kedatanganmu di ruang Okta terus ku nantikan. Akan keberitahu dalam hening yang bertujuan menembus kerasnya pikiranmu. Skenario tentang diri manusia acap kali diagungkan. Seolah mampu menembus dimensi Ketuhanan yang menyimpan perjalanan jiwa. Kau ataupun aku memburu tanya atas beda tanpa sedikitpun jawab. Kehidupan yang diciptakan Tuhan memang melampaui analisa manusia. Barangkali hidup adalah hal yang mesti diterima dengan ikhlas sebab tak seorangpun bisa mendoktrin Tuhan. 

       Biar ku beritahu jangan menyusahkan waktu istirahatmu dengan terus berjalan. Kamu pasti lelah. Berhentilah sejenak dan seka keringat pedih yang menyusup ke bola matamu. Aku akan tetap menjadi siluet atau potretmu yang ingin selalu tersenyum setelah kuas perjalananmu kembali bermakna. Bisakah kamu kembali bercerita di ruang Okta. Cerita yang mana hanya aku dan kamu yang tahu. Segalanya yang kita tata dalam sembunyi. 

         Kamu adalah tokoh dalam cerita ini, begitupula aku. Kamu adalah pagiku, siangku, senjaku dan malamku. Mungkin bagimu aku hanya udara. Tapi kamu semesta untukku. Apalah artiku di ruang Okta tanpa semestamu. Tunggu, bisakah kau ambil minumanmu sendiri? Sepertinya suaramu tertahan. Hujan hari ini deras sekali. Gemuruhnya nyaring menyesakkan dada. Menyembunyikan luka bukanlah hal yang mudah. Bagaimana kalau kau rawat ia sendiri toh akhirnya segala luka akan sembuh jua. Aku tahu semua sangat melelahkan bagimu. Kalau begitu biar kau ikhlas dan bersyukur saja. 

          Tanyaku hanya sebatas oase ego menempa ceritamu yang tersimpan dengan teliti. Mari kita beri karangan bunga pada ego yang terus tumbuh bagai ilalang yang mengganggu. Semakin ia tumbuh, semakin ia bisa melukaimu ataupun aku. Bagaimana kalau kita pesan rasa syukur yang tak pernah putus agar jalan yang asing terasa damai. Mimpi yang koyak biar jadi cerita sumbang dan akan kita saksikan di ruang Okta. Mengeksekusinya hingga tak lagi menjadi beban yang harus dipaksakan dalam hidup. Lakukan dengan rapi hingga menyeruak jadi butiran yang mulai tiada. Hiduplah dengan tenang. Dengan mau mu, dengan segala cita yang menjadi telaga baru. Dengan segala cinta dalam dirimu. 

         Datanglah setiap hari ke ruang Okta. Dengan semangat si manis yang beriak-riak perasaannya menunggu seseorang membawa pergi kemanapun untuk hidup tanpa keluh, tanpa resah dengan rasa syukur disetiap perjalanannya. Dengan kekasihnya. Sebab hidup disulam untukmu tak akan sampai ribuan tahun lamanya. Bahagialah saat datang ke ruang Okta. Bahagialah dimanapun kamu berada. Aku selalu menanti kamu dan aku tersenyum di ruang Okta, tegap melangkah dengan damai agar aku tenang di ruang Okta ataupun dalam bayanganmu. Karena kau berharga, akupun jua. Aku adalah kamu, dimanapun itu. 
Audina Luvi








Tidak ada komentar:

Posting Komentar