Audina Luvi

Follow Us @audinaluvi

Senin, 22 Juni 2020

Egois Kali Ini

Juni 22, 2020 0 Comments
Disana
Tinggi
Jauh
Sempurna

Aku hanya bisa memandang
Sebatas rengkuh yang hidup dalam kenang
Terngiang
Tak pernah berkesudahan menyapu hari tanpa riang

Aku ingin egois kali ini
Mengumpat dalam hati 
Bila tak bisa detik ini maka aku akan jadi pencuri
Sepasang sayap pada raga yang mati

Aku tahu ia terang berkelip utuh
Akan jatuh
Untuk ku rengkuh
Atau ia memang butuh

Tapi rindu tak pernah sabar
Terus bergetar
Dalam hati yang nanar
Tanpa henti berputar

Tolong
Jangan pernah bohong
Sekalipun tidak akan jatuh pada dalamnya palung
Menuju ku tetap tak terbendung
















Sabtu, 06 Juni 2020

Perahu mu

Juni 06, 2020 0 Comments
Tak ada perahu hari ini
Haruskah tetap berkemas dan tetap disini
Membingkis detik cemas

Hanya biru terhampar
Mana ada jejak yang berbekas di lautan
Barangkali aku terdampar merenungi aksara tujuan

Langit abu
Tak ada  senja yang menyesal meski tanpa jingga
Abu dalam pandang, Kamu dalam kenang
Menuju malam penuh duga

Pandangku luas sedang semestaku hanya sebesar bola mata
Di tiap sudutnya ada rindu tanpa batas
Akan ku kitari agar kau tetap terjaga dalam cipta

Sering ku terka kau datang bilamana laut tanpa riak
Imaji adalah hal paling menakutkan tanpa bisa ku seka
Sebab ingatan tentangmu selalu gemuruh berteriak dalam sorak

Teguhlah dalam perahumu
Aku tak apa
Mendayunglah kemanapun sebab laut itu luas dan semu
Apakah aku tujuannya atau kau akan lupa?

Bila tak bisa memesan takdir
Biar ku pesan dua gelas anggur dalam hati sendiri
Tiap teguk membawa jujur tanpa kelabu
Mabuk hingga tak peduli meski banyak perahu yang hadir

Akankah kau tetap mendayung kemari?
Datang di bawah langit abu
Audina Luvi












Jumat, 05 Juni 2020

Ruang Okta

Juni 05, 2020 0 Comments

         Aku adalah bayang di tengah terik. Terbakar hingga hitam melepuh selama kau masih tegap berdiri dan terus melangkah. Aku adalah kamu di ruang Okta. Aku adalah sendiri jika tak ku temukan terang. Aku adalah pertanyaan yang tak kunjung memiliki jawab. Aku adalah tajuk yang tak ada habisnya. Aku adalah sepi yang selalu memerhatikanmu. Dimanapun itu. 

       Sudah lama tak kau kunjungi ruang Okta. Sudah lama tak kau tatap aku dengan nanar dan sunyi itu. Kadang ku rindu dirimu yang tak berkesudahan di ruang Okta. Hanya untuk memastikan kau nampak cantik saat bertemu seseorang yang selalu kau tunggu. Kadang ku rindu kau yang terus memaki ku hanya karena aku yang nampak lusuh dan banyak cacat di wajah. Aku tahu kau enggan datang ke ruang ini hanya karena kau selalu ingin berpura-pura baik-baik saja. Menjauhiku di ruang Okta. Melangkah sebanyak-banyaknya dan membodohi diri dengan membawa mimpi yang tak pernah benar-benar terkubur. Bodoh sekali. Kemalangan apa yang ingin kau timang sedang aku selalu disini menunggumu untuk berbagi keluh seperti kau yang tak pernah memiliki rasa takut dulu. Kau lepas kendali oleh ambisi. Kau ingin pulang. Kau tahu jalan mana yang harus kau lalui tapi kau pura-pura melupakannnya dan kembali menjadi bodoh. Tolong!!! Berhenti sampai disini. 

        Luka hanya harus menunggu waktu untuk sembuh. Kau tak perlu terus berjalan hingga membuatnya bernanah. Aku bisa membaca mau mu. Aku bisa menjabarkan isi hatimu. Maka berhentilah. Bisakah kita obati bersama luka itu di ruang Okta. Jika kau datang akan kubacakan sembilan sajak yang kau tulis kala itu. Akan ku ingatkan betapa luar biasanya kamu sebelum luka itu. Maka berimajinasilah bahwa luka itu telah mengering dan kau kembali memaafkan apa saja yang mengusik perasaanmu. 

          Akh, kau memang keras kepala. Terus berjalan menantang maunya semesta. Kalau kau suka senja kenapa selalu menyimpannya menjadi tulisan? Bukankah kau bisa diam dan menikmati jingga. Nelayan-nelayan disana saja lebih memilih menghibur dirinya dengan senja di atas perahu tua sembari menunggu ikan terperangkap dalam jalanya. Kau bukanlah orang tersibuk di semesta ini. Kau selalu membuat onar hanya untuk menunjukkan bahwa kau bisa menjadi segalanya. Bukan begitu caranya untuk menjalani hidup. Bakar saja ratusan sajak yang sarat makna di mata orang lain sedang penulisnya fakir dalam memaknai hidupnya sendiri. Sekali lagi, ku mohon untuk berhenti!!!. 
    
       Ruang Okta ini semakin sepi. Jika kekasih mu jauh, apa ruang Okta tak ada gunanya? Jika ada yang mengusik pikiranmu, apakah ruang Okta tak layak untuk mendapat kunjungan-kunjungan itu? Kau melupakan riangmu. Berjalan disana tanpa peduli nelangsanya aku. Enggan datang tanpa sadar kau membuatku semakin ingin membuatmu datang ke ruang Okta. Mengetuk jelaga diri itu untuk membuat bicara. Akan kutunjukkan jalan keluar dari gundahmu tapi sekarang kau malah makin tersesat. Tersandung langkah kaki sendiri. Entah berapa kuantitas jarak untuk berpura-pura dan tak berkualitas. Kau tamak pada diri sendiri. Memberi tawa dan luka tanpa sekat. Menjadikan bait-bait keliru. Kau menyulam tiap kata tanpa suara. Meniti tiap detik dengan luka. Sakitnya belum enyah dalam dadamu. Bisakah kau insaf kali ini? 

         Bisakah kau datang ke ruang Okta hari ini. Tak peduli kau datang di waktu berembun atau datang di waktu terik atau bahkan di jingga senja ataupun di malam yang hanya diterangi satu lilin yang lekas meleleh. Kedatanganmu di ruang Okta terus ku nantikan. Akan keberitahu dalam hening yang bertujuan menembus kerasnya pikiranmu. Skenario tentang diri manusia acap kali diagungkan. Seolah mampu menembus dimensi Ketuhanan yang menyimpan perjalanan jiwa. Kau ataupun aku memburu tanya atas beda tanpa sedikitpun jawab. Kehidupan yang diciptakan Tuhan memang melampaui analisa manusia. Barangkali hidup adalah hal yang mesti diterima dengan ikhlas sebab tak seorangpun bisa mendoktrin Tuhan. 

       Biar ku beritahu jangan menyusahkan waktu istirahatmu dengan terus berjalan. Kamu pasti lelah. Berhentilah sejenak dan seka keringat pedih yang menyusup ke bola matamu. Aku akan tetap menjadi siluet atau potretmu yang ingin selalu tersenyum setelah kuas perjalananmu kembali bermakna. Bisakah kamu kembali bercerita di ruang Okta. Cerita yang mana hanya aku dan kamu yang tahu. Segalanya yang kita tata dalam sembunyi. 

         Kamu adalah tokoh dalam cerita ini, begitupula aku. Kamu adalah pagiku, siangku, senjaku dan malamku. Mungkin bagimu aku hanya udara. Tapi kamu semesta untukku. Apalah artiku di ruang Okta tanpa semestamu. Tunggu, bisakah kau ambil minumanmu sendiri? Sepertinya suaramu tertahan. Hujan hari ini deras sekali. Gemuruhnya nyaring menyesakkan dada. Menyembunyikan luka bukanlah hal yang mudah. Bagaimana kalau kau rawat ia sendiri toh akhirnya segala luka akan sembuh jua. Aku tahu semua sangat melelahkan bagimu. Kalau begitu biar kau ikhlas dan bersyukur saja. 

          Tanyaku hanya sebatas oase ego menempa ceritamu yang tersimpan dengan teliti. Mari kita beri karangan bunga pada ego yang terus tumbuh bagai ilalang yang mengganggu. Semakin ia tumbuh, semakin ia bisa melukaimu ataupun aku. Bagaimana kalau kita pesan rasa syukur yang tak pernah putus agar jalan yang asing terasa damai. Mimpi yang koyak biar jadi cerita sumbang dan akan kita saksikan di ruang Okta. Mengeksekusinya hingga tak lagi menjadi beban yang harus dipaksakan dalam hidup. Lakukan dengan rapi hingga menyeruak jadi butiran yang mulai tiada. Hiduplah dengan tenang. Dengan mau mu, dengan segala cita yang menjadi telaga baru. Dengan segala cinta dalam dirimu. 

         Datanglah setiap hari ke ruang Okta. Dengan semangat si manis yang beriak-riak perasaannya menunggu seseorang membawa pergi kemanapun untuk hidup tanpa keluh, tanpa resah dengan rasa syukur disetiap perjalanannya. Dengan kekasihnya. Sebab hidup disulam untukmu tak akan sampai ribuan tahun lamanya. Bahagialah saat datang ke ruang Okta. Bahagialah dimanapun kamu berada. Aku selalu menanti kamu dan aku tersenyum di ruang Okta, tegap melangkah dengan damai agar aku tenang di ruang Okta ataupun dalam bayanganmu. Karena kau berharga, akupun jua. Aku adalah kamu, dimanapun itu. 
Audina Luvi








Selasa, 02 Juni 2020

Sidik Jari di Pintu-Mu

Juni 02, 2020 0 Comments

Hujan kemarin, getir yang terekam
Jerit Christchurch, pertanda apa?
Benarkah peluru melukai jiwa yang sujud pada Rabb nya?
Perlahan menyulam duka dengan luka saudara

Ya Robbana
Tiba menit gemetar di dekap jua detik takut
Sembunyi dimana-mana semakin tiada
Sujud siapa yang lebih dulu Kau dekap di balik surga?

Robbana Ya Robbana
Kemana harus dicari jawab dari ketidaktahuan?
Sedang iblis tak pernah menyerah
Menakuti hati yang perlahan mulai lemah

Melangkah ke Timur
Bising, debu menimbun luka bernanah
Jatuh merangkak ke Barat
Sepi mulai menjelma jerit

Risau tanpa pasti
Meraba-raba Kasih Tuhan untuk mencuri sedikit rasa tenang
Kebingungan dalam hidup yang sementara
Dengan-Mu semua tak lagi tercenung gaduh mencekam

Illahi
Fahabli taubatan waghfir dzunubi

Jika sembunyi tak mampu mengukir janji kedamaian
Mungkin air mata sujud adalah pinta termanis untuk merengkuh dekap-Mu

Ya Robbi Ya Illahi
Jiwa yang meronta takut biar enyah dalam damai nuju kiblat itu
Lantas tak lagi menyeru jerit duka dan luka
Sebab rasa kembali ingini merekam sidik jari di pintu surga-Mu
Audina Luvi


















Senin, 01 Juni 2020

Padu

Juni 01, 2020 0 Comments

Beberapa baris masa ditimbun menjadi legenda
Sekilas peristiwa pernah ada dalam prahara
Siang dalam semesta atau senja dalam jingga
Tak lagi berharga bila terus diterka jalannya

Bila kita tatap langit malam bersamaan
Pandang jatuh tiba-tiba menjadi cahaya
Aku insaf sekarang
Menimang jawab yang tak lagi pekat dipadu garang

Insan hanya lakon
Tanya hanya gerutu
Semesta hanya kata
Malam hanya warta

Kita memadu dunia sedemikian rupa
Merangkainya dalam bait-bait yang mulai tuntas
Pada titik terakhir kutemui dunia bebas, semesta tanpa batas
Menjadi padu dalam bola mata-mu

Audina Luvi